1. Pendahuluan
Baut
merupakan salah satu jenis alat sambung mekanis atau pengencang yang banyak
digunakan dalam sambungan kayu. Baut umumnya digunakan untuk memikul
beban-beban yang lebih besar dibandingkan dengan beban yang dipikul oleh alat
sambung lain seperti paku. Pemakaian baut umumnya pada sambungan dengan
pembebanan secara lateral (Breyer, et
al., 2007). Baut untuk sambungan kayu cenderung memiliki rasio L/d (L
adalah panjang baut dan d adalah diameter baut) lebih besar dibandingkan dengan
sambungan baja karena kebutuhan untuk menyambungkan penampang kayu yang lebih
tebal (Ozelton, 2006). Baut tersedia di pasaran dalam berbagai variasi baik
dari segi dimensi maupun material pembentuknya namun belum tersedia informasi
mengenai nilai kekuatannya yang diperlukan bila baut tersebut
akan digunakan untuk keperluan konstruksi kayu.
` Pendekatan
terhadap analisis sambungan berdasarkan kondisi leleh dari berbagai elemen
dalam sambungan telah berkembang di Eropa pada tahun 1940-an. Hasil-hasil
penelitian menunjukkan bahwa pendekatan mekanika teknik berdasarkan teori batas
leleh sesuai untuk menganalisis alat sambung/ pengencang tipe dowel pada
sambungan kayu. Model batas leleh Eropa (European
Yield Model) selanjutnya dipakai secara luas dalam standar desain sambungan
yang berlaku di banyak negara. Berdasarkan model batas leleh, nilai desain
rujukan pengencang yang memikul beban lateral geser dipengaruhi antara lain
oleh kekuatan leleh lentur (bending yield
strength/Fyb) pengencang (Breyer, et al., 2007). Kekuatan leleh lentur pengencang (Fyb)
dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 7973:2013 ditentukan berdasarkan metode offset 5% diameter (0.05D) dari kurva
beban-deformasi yang diperoleh pada pengujian lentur pengencang. Metode
pengujian lentur pengencang mengacu pada ASTM F1575 (Standard Test Method for Determining Bending Yield Moment of Nails) yaitu metode pengujian standar untuk menentukan momen leleh lentur
paku atau menggunakan ASTM F606 (Standard
Test Methods for Determining the
Mechanical Properties of Externally and Internally Threaded Fasteners, Washers,
Direct Tension Indicators, and Rivets) dalam mengestimasi nilai Fyb untuk pengencang
pendek dengan diameter besar.
Penelitian mengenai besarnya nilai Fyb
baut yang beredar di pasaran khususnya untuk penggunaan pada sambungan kayu
masih terbatas. Studi yang telah dilakukan Tjondro (2007), Agussalim (2010) dan
Pranata, dkk. (2013) menunjukkan nilai Fyb yang bervariasi. Variasi
nilai berasal dari baut dan metode pengujian yang dilakukan. Baut yang digunakan
dalam beberapa penelitian tersebut beragam baik dari diameter (berkisar 1/4–7/8
inci atau 6.4–22 mm), panjang maupun bentuknya (baut polos atau berulir) dan
belum tersedia informasi mengenai komposisi bahan penyusunnya sehingga tidak
diketahui apakah termasuk baut besi atau baja. Sementara itu metode penentuan Fyb
yang dilakukan terdiri dari pengujian momen leleh lentur baut merujuk pada ASTM
F1575 (Tjondro, 2007 dan Pranata, dkk., 2013) dan estimasi Fyb dari
pengujian tarik dengan merujuk pada ASTM F606 (Agussalim, 2010).
Oleh karena itu penelitian ini
mencoba untuk menentukan nilai Fyb yang lebih spesifik yaitu dari
baut segi enam standar seperti yang tercantum dalam SNI 7973:2013. Penentuan
nilai Fyb dilakukan sesuai ASTM F1575 dengan rasio bentang terhadap
diameter baut dibuat sedekat mungkin sesuai yang ditentukan dalam standar.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan nilai Fyb baut yang
tersedia di pasaran yang umum dipakai dalam sambungan kayu dan menyediakan
informasi mengenai komposisi bahan penyusunnya. Diameter baut dibatasi tiga
ukuran yaitu 1/2, 5/8, dan 3/4 inci dan berasal dari satu merek dagang.
2.
Metode Penelitian
Baut
yang diuji adalah baut besi dengan tiga ukuran diameter (1/2, 5/8 dan 3/4 inci)
dan baut baja satu ukuran diamater (1/2 inci). Penyebutan jenis baut yang
terdiri dari besi dan baja adalah untuk menyesuaikan dengan istilah yang
dipakai di pasaran. Baut besi lebih ditujukan untuk sambungan kayu sementara
baut baja digunakan untuk sambungan baja atau beton (selain kayu). Baut besi
dan baja tersedia dalam berbagai variasi diameter dan panjang namun dalam
penelitian ini hanya diambil tiga ukuran diameter baut besi dan satu ukuran
diameter baut baja dengan panjang yang disesuaikan menurut kebutuhan pengujian
kekuatan leleh lentur sesuai standar yang diacu. Baut baja hanya tersedia
dengan panjang maksimal 6 inci (sekitar 15 cm) sehingga hanya digunakan ukuran
diameter 1/2 inci (12.7 cm) untuk mendapatkan bentang pengujian sesuai standar.
Pengukuran dimensi baut meliputi panjang dan diameternya. Baut yang digunakan
berasal dari satu merek dagang untuk memudahkan identifikasi pengaruh komposisi
bahan penyusunnya.
Kerapatan
baut dihitung dari perbandingan antara berat dan volume baut. Baut ditimbang
dan ditentukan volumenya dengan metode pencelupan dalam air (water immersion). Pengujian kekuatan
leleh lentur baut mengacu pada ASTM F1575-03 (ASTM 2013) dapat dilihat pada Gambar 1. Baut besi diuji menggunakan
batang polos tanpa ulir sedangkan baut baja karena berukuran lebih pendek diuji
sampai bagian ulir untuk mendapatkan bentang yang lebih panjang. Total baut
yang diuji sebanyak 40 buah dengan ulangan masing-masing diameter adalah 10
buah (30 buah baut besi dan 10 buah baut baja). Pengujian dilakukan pada Universal Testing Machine (UTM) merk
Instron tipe 3369P7905 kapasitas 50 kN dengan menetapkan batas defleksi sebesar
7 mm. Kekuatan leleh lentur baut dihitung berdasarkan rumus berikut:
dimana:
Fyb = Kekuatan leleh lentur baut
My = momen yang dihitung berdasarkan beban yang diperoleh pada pengujian (My=Psbp/4,
P = beban yang ditentukan dari kurva
beban- deformasi, sbp=jarak
titik tumpu)
S =
modulus penampang plastis efektif untuk sendi plastis penuh (S=D3/6,
D=diameter baut)
Penentuan volume baut dilakukan di
Laboratorium Sifat Fisis Kayu, sementara pengujian kekuatan leleh lentur baut
di Laboratorium Divisi Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Fakultas Kehutanan,
Institut Pertanian Bogor. Selanjutnya pengujian komposisi kimia baut
dilaksanakan di Laboratorium Uji Departemen Teknik Metalurgi dan Material
Universitas Indonesia berdasarkan ASTM A751 (Standard Test Methods, Practices,
and Terminology for Chemical Analysis of Steel Products)
dan ASTM E415 (Standard Test Method for
Analysis of Carbon and Low-Alloy Steel by Spark Atomic Emission Spectrometry)
dengan mesin uji Optical Emission
Spectrometer.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Karakteristik baut
Dimensi
baut berupa diameter dan panjang serta kerapatannya dapat dilihat pada Tabel 1. Diameter dan panjang baut
dalam satuan inci untuk menyesuaikan dengan ukuran dimensi yang umumnya
dijual/tersedia di pasaran. Baut tersedia dalam berbagai ukuran diameter dan
panjang. Diameter baut untuk keperluan konstruksi kayu mulai dari 1/4 inci
(6.35 mm) hingga 1 inci (25.4 mm). Baut besi tersedia hingga panjang 16 inci
(sekitar 40 cm) sedangkan baut baja maksimal hanya 6 inci (15 cm). Kerapatan
baut besi rata-rata berkisar 7.83‒7.85 g/cm3 dengan koefien
variasi berkisar 0.05‒0.36% sedangkan baut baja rata-rata 7.85 g/cm3
dengan koefisien variasi 0.07%. Kisaran nilai kerapatan yang diperoleh berkisar
0.04‒0.02 g/cm3 dibawah nilai
kerapatan baja secara umum, yang berkisar 7.87 g/cm3 (Vable, 2014).
Adanya perbedaan diduga karena ada udara yang terperangkap pada saat pengukuran
volume dengan metode pencelupan dalam air (water
immersion) sehingga volume yang diukur mengalami pertambahan dan
mengakibatkan pengurangan terhadap kerapatan yang diperoleh.
Tabel
1. Dimensi dan kerapatan baut
Jenis
Baut
|
Diameter
(inci*)
|
Panjang
(inci*)
|
Kerapatan
(g/cm3)
|
Koefisien
variasi
|
Besi
|
1/2
|
9
|
7.83
|
0.05
|
5/8
|
11
|
7.85
|
0.14
|
|
Baja
|
3/4
|
13
|
7.84
|
0.36
|
1/2
|
6
|
7.85
|
0.07
|
*1 inci = 2.54 cm
Hasil
pengujian komposisi kimia unsur penyusun baut pada Tabel 2 menunjukkan unsur besi (Fe) adalah unsur penyusun utama
dengan kadar > 99% dalam baut besi dan >98% dalam baut baja. Berdasarkan
kadar unsur karbon (C) maka baut besi yang digunakan termasuk dalam kategori baja karbon rendah (kadar karbon 0.3%).
Sementara itu, baut baja termasuk dalam kategori baja karbon sedang (kadar
karbon >0.3%). Kadar unsur C merupakan dasar penggolongan baja karbon
menjadi baja karbon rendah (≤ 0.3%), sedang (0.3‒0.6%), tinggi (0.6‒1.0%) dan sangat tinggi (1‒2%) merujuk pada American Society for Metal. Unsur C
berfungsi untuk meningkatkan sifat
kekuatan baja karbon. Kulak, dkk. (2001) menyatakan bahwa baut baja karbon
rendah memiliki kekuatan yang lebih rendah dibandingkan dengan baut baja karbon
sedang terutama terkait dengan kadar unsur C yang lebih rendah. Selain unsur Fe
dan C, beberapa unsur lain seperti Si, Mn, P, S, Cr, Ni, Al, Cu, Nb dan V
umumnya ditambahkan dalam rangka meningkatkan sifat-sifat baja karbon.
Pengaruh
dari satu unsur penyusun berkaitan atau termodifikasi dengan pengaruh unsur
penyusun lainnya sehingga harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi perubahan
dalam komposisi baja. Sebagai contoh unsur Mn berkontribusi terhadap kekuatan
dan kekerasan baja namun dapat menurunkan daktilitas dan daya las. Unsur Mn
juga berfungsi sebagai pengikat unsur S yang memiliki kecenderungan untuk
mengalami segregasi (ASM, 2005). Meskipun berasal dari merek yang sama namun
terdapat sedikit perbedaan kadar unsur penyusun baut besi pada masing-masing
diameter. Perbedaan yang dimaksud terutama pada unsur C yang memberikan sifat
kekuatan pada baut.
3.2 Kekuatan leleh lentur baut
Kondisi baut
setelah pengujian kekuatan leleh lentur dapat dilihat pada Gambar 2, sementara kurva hubungan antara beban dan deformasi yang
diperoleh dari pengujian tersebut disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan kurva tersebut
dapat dilihat bahwa setelah melewati titik belok, kurva cenderung mendatar
sampai batas deformasi yang ditentukan (7 mm), hal ini karena kurva memasuki
daerah plastis dimana pada beban yang relatif sama deformasi terus bertambah.
Pengujian tidak dilakukan sampai beban maksimal atau sampai baut yang diuji
patah karena tujuan pengujian hanya sampai mendapatkan beban leleh. Beban yang
dicapai baut baja diameter 1/2 inci (mencapai 1000 kgf) paling tinggi
dibandingkan dengan nilai yang dicapai oleh baut lainnya. Sementara itu, pada
baut besi dapat dilihat semakin besar diameter baut, semakin tinggi beban yang
dicapai (mencapai 900 kgf). Beban yang digunakan untuk menghitung kekuatan leleh
lentur baut bukan didasarkan pada beban tertinggi namun pada beban leleh yang
ditentukan dengan metode offset 5%
diameter sesuai standar pengujian yang digunakan (ASTM F1575).
Gambar 3. Kurva beban-deformasi pengujian kekuatan leleh lentur baut
pada berbagai diameter
Tabel 3 menyajikan
nilai beban leleh (offset 5% diameter) yang dicapai dan kekuatan leleh lentur baut pada berbagai diameter
yang diuji. Rata-rata beban leleh baut besi berturut-turut untuk diameter 1/2,
5/8 dan 3/4 inci adalah 320, 564, dan 812 kgf sementara baut baja diameter 1/2
inci adalah 918 kgf. Kekuatan leleh lentur baut (Fyb) baut besi
berturut-turut untuk diameter 1/2, 5/8, dan 3/4 inci adalah 442, 468, dan 470
MPa sementara baut baja diameter 1/2 inci sebesar 912 MPa. Semakin besar
diameter baut, ada kecenderungan semakin tinggi nilai Fyb yang
diperoleh. Hal ini berkaitan dengan perbedaan komposisi unsur penyusun baut
besi terutama unsur C yang berfungsi untuk meningkatkan sifat kekuatan dimana
nilainya semakin besar pada diameter baut yang lebih besar. Oleh karena itu
peningkatan nilai Fyb berasal dari peningkatan nilai momen (My)
akibat meningkatnya nilai beban leleh (Py) yang dicapai. Apabila
panjang bentang yang dipakai dalam pengujian dibuat sama maka peningkatan nilai
Fyb juga dapat diakibatkan karena meningkatnya nilai modulus
penampang dengan meningkatnya ukuran diameter baut, namun dalam penelitian ini
panjang bentang yang digunakan sesuai dengan diameter baut, sehingga yang tetap
atau hampir sama adalah rasio antara bentang dengan diameter (B/D). Koefisien
variasi Fyb baut besi diameter 3/4 inci (1.34%) paling kecil
dibandingkan dengan baut 5/8 inci (6.31%) dan baut 1/2 inci (5.87%). Hal ini
juga dapat dilihat dari kurva pada Gambar
3, dimana kurva yang diperoleh cenderung lebih rapat pada baut diameter 3/4
inci dan paling lebar pada baut diameter 5/8 inci.
Tabel 3. Rataan beban leleh dan kekuatan leleh
lentur baut (Fyb)
Jenis
baut
|
Diameter
(inci)
|
Rasio
Bentang/Diameter
|
Beban
leleh
(kgf)
|
Fyb
(MPa)
|
Koefisien
variasi
|
|
1/2
|
11.7
|
320
|
442a*
|
5.87
|
Besi
|
5/8
|
11.5
|
564
|
468b
|
6.31
|
|
3/4
|
11.6
|
812
|
470b
|
1.34
|
Baja
|
1/2
|
10.7
|
918
|
912
|
2.53
|
*Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan
tidak berbeda nyata
Berdasarkan
analisis statistik diketahui bahwa nilai Fyb baut diameter 5/8 tidak
berbeda nyata dengan diameter 3/4, hanya baut diameter 1/2 yang berbeda secara
nyata dengan kedua baut lainnya. Baut baja tidak dimasukkan dalam analisis
statistik bersama dengan baut besi karena perbedaan dalam sifat dan kondisi
pengujiannya. Pengujian kekuatan leleh lentur baut memerlukan rasio
bentang/diameter (B/D) sebesar 11.5, sementara panjang maksimum baut baja hanya
tersedia 6 inci atau sekitar 15 cm sehingga rasio B/D yang diperlukan tidak
terpenuhi untuk diameter baut baja yang diuji. Semakin kecil rasio B/D maka
akan semakin tinggi kekakuan baut yang diuji (semakin tinggi beban yang dapat
ditahan pada deformasi tertentu), sehingga semakin tinggi nilai beban leleh yang
diperoleh dan menghasilkan nilai Fyb yang semakin tinggi pula.
Selisih
rasio B/D pada baut baja dan besi pada diameter yang sama (1/2 inci) adalah
sebesar 1, menghasilkan perbedaan Fyb baut baja sekitar 2 kali Fyb
baut besi. Selain faktor rasio B/D, perbedaan nilai Fyb ini juga
dipengaruhi oleh komponen unsur penyusun baut seperti tertera dalam Tabel 2 sebelumnya. Semakin tinggi
unsur C yang berfungsi untuk meningkatkan sifat kekuatan semakin tinggi
kekuatan baja karbon. American Wood
Council (2014) menyatakan bahwa paku baja yang diperkeras memiliki nilai Fyb
30% lebih tinggi dibandingkan dengan Fyb paku biasa. baut. Nilai Fyb
yang dapat dibandingkan dengan penelitian ini adalah nilai dari baut diameter
1/2 inci dengan rasio B/D 11.6 sebesar 462 MPa, lebih tinggi daripada nilai Fyb
yang diperoleh (442 MPa). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh rasio B/D sedikit
lebih besar (11.7) dan komposisi unsur penyusun baut yang digunakan meskipun
sama-sama masuk kategori baja karbon rendah. Studi lain oleh Tjondro (2007)
mengenai kekuatan leleh lentur baut menunjukkan nilai Fyb dari
berbagai diameter baut 1/2, 5/8, 3/4, dan 7/8 inci (12, 16, 19 dan 22mm) berada
di kisaran 400-1000 MPa dengan nilai rata-rata 614 MPa. Namun informasi detail
mengenai pengujian dan nilai yang diperoleh untuk setiap ukuran diameter tidak
tersedia. Selanjutnya penelitian Agussalim (2010) pada baut berdiameter 1/4,
5/16, dan 3/8 inci (6.4, 7.9 dan 9.4 mm) menghasilkan nilai Fyb
berturut-turut adalah sebesar 505, 532, dan 504 MPa. Nilai Fyb yang
diperoleh meningkat dari diameter 1/4 ke 5/16 inci namun kemudian nilainya
turun dari 5/16 ke 3/8 inci dan dapat dilihat bahwa nilai Fyb baut
diameter 1/4 dan 3/8 inci hampir sama. Nilai Fyb ini dihasilkan dari
uji tarik yang dilaksanakan mengacu pada standar ASTM F606. Nilai Fyb
yang lebih tinggi dihasilkan dari penelitian Pranata, dkk. (2013) menggunakan
tiga diameter baut yaitu 5/16, 3/8 dan 1/2 inci (8, 10 dan 22mm). Nilai
rata-rata Fyb berturut-turut untuk tiga diameter adalah 1121.40,
642.19, dan 631.76 MPa. Semakin besar diameter baut, semakin kecil nilai Fyb
yang dihasilkan. Nilai Fyb tersebut jauh berada di atas nilai Fyb
yang diperoleh dalam penelitian ini. Baut yang digunakan pada penelitian
tersebut adalah baut tanpa kepala berulir penuh dengan rasio B/D 10 sampai
dengan 18.75 namun tidak ada informasi mengenai komposisi bahan penyusun baut
yang digunakan. Pada penelitian ini panjang bentang yang digunakan untuk baut
5/16 dan 1/2 inci adalah sama yaitu 150 mm. Diameter baut yang lebih kecil akan
memiliki nilai Fyb yang lebih tinggi karena nilai modulus penampang
yang semakin besar dan berbanding terbalik dengan nilai Fyb.
Kekuatan leleh lentur baut, sekrup
kunci (diameter ≥ 3/8 inci atau 9.53 mm), dan pin dorong yang tercantum dalam
SNI 7973:2013 adalah sebesar 310 MPa atau dalam NDS 2015 sebesar 45000 psi.
Nilai Fyb ini tidak tergantung pada diameter pengencang, berbeda
dengan paku yang nilainya bervariasi menurut diameternya. Nilai Fyb
paku biasa, boks atau sinker, pantek,
sekrup kunci dan sekrup kayu (baja karbon rendah sampai sedang) berkisar 310
MPa (diameter 0.344‒0.375 inci atau 8.74‒9.53 mm) sampai dengan 690 MPa
(diameter 0.099‒0.142 inci atau 2.52‒3.61 mm). Sementara untuk paku baja
yang diperkeras (baja karbon sedang) nilainya berkisar 689 MPa (diameter 0.192‒0.207 inci atau 4.88-5.26 mm) sampai
dengan 896 MPa (diameter 0.120‒0.142 inci atau 3.05‒3.61 mm). Studi oleh Rammer dan
Zelinka (2014) pada paku stainless steel
juga menunjukkan hal yang sama, semakin kecil diameter paku semakin tinggi
nilai Fyb. Paku yang diuji berdiameter 2.77, 3.38 dan 4.19 mm
memiliki Fyb berturut-turut sebesar 832, 762, dan 743 MPa.
Berdasarkan
nilai Fyb hasil penelitian ini dan beberapa penelitian sebelumnya,
terlihat kecenderungan yang sedikit berbeda dengan nilai Fyb paku.
Nilai Fyb baut tidak konsisten menurun dengan bertambahnya diameter
baut. Dalam penelitian ini diameter yang lebih besar menghasilkan nilai Fyb
yang lebih besar meskipun tidak berbeda nyata dengan diameter baut sebelumnya,
hal ini lebih terkait dengan komposisi bahan penyusunnya. Hasil penelitian
Sawata dan Yasumura (2000) menunjukkan nilai Fyb dowel diameter 5/16
inci (8 mm) paling tinggi dibandingkan diameter 1/2, 5/8 dan 3/4 inci (12, 16,
dan 20 mm) sementara Fyb diameter 1/2– 3/4 inci (12–20 mm) cenderung
konstan meskipun nilainya mengalami penurunan. Nilai Fyb yang
diperoleh lebih besar dibandingkan dengan nilai yang tercantum dalam SNI
7973:2013 (310 MPa) begitu juga dengan nilai Fyb hasil-hasil
penelitian lainnya. Mengingat variasi pengencang khususnya baut yang sangat
beragam di pasaran maka perlu dibuat spesifikasi yang lebih detail mengenai baut
yang digunakan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan nilai desain rujukan
yang lebih tepat.
4. Kesimpulan
Berdasarkan pengujian dan analisis
yang dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Baut besi yang digunakan berasal
dari bahan baja karbon rendah sedangkan baut baja berasal dari bahan baja
karbon sedang.
2. Nilai Fyb baut baja lebih
tinggi dibandingkan baut besi, hal ini berkaitan dengan perbedaan pada unsur
penyusun bahan pembuat baut disamping rasio bentang dan diameter baut pada pengujian.
3. Nilai Fyb baut besi
mengalami peningkatan dari diameter 1/2 inci ke diameter 5/8 dan 3/4 inci namun
nilai Fyb diameter 5/8 dan 3/4 inci tidak berbeda nyata.
4. Nilai Fyb ketiga diamater
baut berada di atas nilai Fyb baut yang tercantum dalam SNI
7973:2013.
Agussalim, 2010, Desain kekuatan sambungan kayu geser ganda berpelat baja dengan baut pada
lima jenis kayu Indonesia [tesis], Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Albright, D.G., 2006, The Effects of bolt spacing on the performance of single-shear timber
connections under reverse-cyclic loading [thesis], Virginia Polytechnic Institute and State
University.
American Society
for Metal [ASM], 2005, ASM
Vable, M., 2014, Mechanics of Materials Second Edition,
Handbook,
Volume 1, Properties and Selection: Michigan Technological University. Irons,
Steels, and High Performance
Alloys,
ASM International, USA.
American Wood Council [AWC], 2014, National Design Specification for Wood Construction
2015 Edition, Leesburg, VA, USA, www.awc.org.
ASTM
F1575-03, 2013, Standard Test
Method for Determining Bending
Yield Moment of Nails, ASTM International, West Conshohocken,
PA, 2013, www.astm.org
ASTM F606, 2016, Standard Test Methods for Determining the Mechanical
Properties of Externally
and Internally Threaded Fasteners, Washers, Direct Tension Indicators,
and Rivets, ASTM International, West Conshohocken, PA, 2013, www.astm.org
ASTM A751-14a, 2014, Standard Test Methods, Practices, and
Terminology for Chemical Analysis of Steel Products, ASTM International,
West Conshohocken, PA, www.astm.org
Badan Standarisasi Nasional [BSN], 2013, SNI 7973:2013 Spesifikasi desain untuk konstruksi kayu, Jakarta.
Breyer, D.E., Fridley, K.J., Cobeen,
K.E., and Pollock, D.G., 2007, Design of Wood Structures ASD/LRFD Sixth
Edition, McGraw-Hill, New York.
Kulak, G.L.,
Fisher J.W., and
Struik, J.H.A., 2001, Published
Guide to Design Criteria for Bolted and
Riveted Joints Second Edition. American Institute of Steel
Construction, Inc., Chicago, IL, USA.
Ozelton, E.C., 2006, Timber Designer’s Manual Third Edition,
Blackwell Publishing, Oxford.
Pranata, Y.A.,
Suryoatmojo, B., dan Tjondro,
J.A.,m2013, Penelitian eksperimental kuat leleh lentur (Fyb)
baut, Jurnal Teknik Sipil,
12(2):98-103.
Rammer, D.R., and Zelinka, S.L.,
2014, Withdrawal Strength and Bending Yield Strength of Stainless Steel Nails, Journal of Structural Engineering, 141 (5),
04014134.
Sawata, K., and Yasumura, M., 2000,
Evaluation of yield strength of bolted timber joints by Monte- Carlo simulation, Proceedings of 6th World Conference on Timber Engineering, Canada.
Tjondro, J.A., 2007, Perilaku sambungan kayu dengan baut tunggal
berpelat sisi baja akibat beban uni-aksial
tarik [disertasi], Bandung,
Universitas Katolik
Parahyangan.